Tidak Perlu Ada Ketaatan Istri Kepada Suami Teroris


Setelah terlaksananya akad nikah, sepasang suami isteri akan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Ibarat bahtera, mereka berdua akan mengarungi lautan kehidupan kehidupan untuk mencapai pulau yang menjadi tujuan bersama. Mereka akan bekerjasama, bahu membahu, melaksanakan segala tugas kehidupan dan mengatasi segala rintangan untuk mencapai keluarga bahagia.
Supaya kerjasama dapat berlangsung dengan baik haruslah ada salah seorang di antara mereka berdua yang memegang kemudi. Persoalannya sekarang adalah, siapa yang memegang kemudi itu, suami atau isteri? Para ulama umumnya, baik fuqaha’ maupun mufasir berpendapat bahwa suamilah yang bertindak menjadi pemimpin. Allah Ta’ala telah berfirman;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar..” (QS. An-Nisaa` [4] : 34)
Kewajiban patuh pada suami selain ditegaskan oleh al-Qur’an, juga diperkuat Hadist Nabi yang berbunyi ;
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَت
Artinya: “ Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Ibnu Hibban 9/471 no.4163 dan ath-Thabrani 5/34 no.4598 dan yang lainnya; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Adab az-Zafaf 286).
Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Penegasan ini menyimpan makna pentingnya kepemimpinan dalam keluarga yang harus dihormati dan ditaati agar perjalanan keluarga dalam berjalan secara harmonis. Dalam Islam kepemimpinan keluarga dipercayakan kepada suami sebagai nakhoda perjalanan rumah tangga. Namun, sejauhmana ketaaan pada suami harus dilaksanakan?
Lalu bagaimana bila seorang suami mengajak istrinya untuk ikut melakukan bom bunuh diri?
Baru-baru ini kita dicengangkan dengan berita rilis dari kepolisian. Polisi mengungkapkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral di Pulau Jolo, Filipina adalah Pasangan suami istri dari warga negara Indonesia. Keduanya adalah deportan dari Turki pada tahun 2017. Masih ingatkah bom yang dilakukan sekeluarga suami, istri dan anak-anaknya pada Mei 2018 silam? Pertanyaanya, apa yang mendasari seorang istri harus patuh terhadap suami yang mengajak pada perbuatan yang dibenci Allah seperti terorisme yang membuat kerusakan di muka bumi?
Dalam Islam, kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalihah untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat, akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Dan  ketaatan itupun tidaklah mutlak. Bila suami memerintahkan istri untuk tidak berjilbab, meninggalkan shalat lima waktu, bersetubuh saat haid, atau berdandan di depan pria lain, perintah itu tidak boleh ditaati. Apalagi mengajak untuk melakukan bom bunuh diri sangat tidak boleh untuk ditaati.
Para ulama ahli tafsir sepakat dalam hal :
  1.      Larangan kepada umat Islam agar tidak membunuh sesamanya, karena umat Islam itu diibaratkan sebagai satu tubuh, jika satu bagiannya sakit maka bagian yang lainnya akan merasakan. Ketika seorang muslim membunuh muslim yang lainnya, seakan-akan ia telah membunuh dirinya sendiri.
  2. Larangan kepada umat Islam untuk tidak melakukan bunuh diri.
  3. Larangan kepada umat Islam untuk tidak melakukan hal-hal yang telah dilarang oleh Allah, yang dapat membinasakan dirinya sendiri dan orang lain.
Menurut para ulama, bunuh diri adalah suatu perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran manusia dalam menghadapi suatu ujian, suatu bentuk keputusan, dan sesuatu yang mendahului kehendak Allah. Orang-orang yang melakukan bunuh diri akan menerima akibat yang luar biasa kejamnya. Hal ini sepadan dengan apa yang telah dilakukannya.
Hal ini diperkuat hadist Nabi Dari Jundub bin Abdullah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga baginya’. [HR. Al-Bukhari, no. 3463] – Baca juga  Tafsir Ayat Ahkam
Lalu, bagaimana dengan suami yang mengajak istrinya untuk ikut dalam melakukan bom bunuh diri  dengan dalih bahwa hal tersebut adalah salah satu jalan ‘jihad?
Sesungguhnya, bunuh diri cara meledakkan diri bersama bom bukanlah sebuah bentuk pembelaan agama Islam ataupun jihad. Aksi bom bunuh diri seperti itu dapat dikatakan sebagai penyimpangan atau pelanggaran syariat. Terlebih, orang yang melakukan bom bunuh diri tersebut menghabisi nyawa orang lain yang belum tentu bersalah.
Jika orang-orang muslim yang melakukan bunuh diri itu beralasan bahwa mereka ingin menghabisi orang-orang kafir, hal itu juga tidak dibenarkan. Dalam kondisi perang saja Nabi memperingatkan pasukan Islam untuk tidak membunuh wanita, anak-anak, orang tua renta, Gedung dan tempat ibadah, serta pepohonan. Sungguh ini etika perang Islam yang sangat menghormati nyawa dan perdamaian.
Jika pada kondisi perang saja melakukan tindakan brutal dengan melukai dan membunuh orang lain yang tidak ikut dalam peperangan dilarang dalam Islam, apalagi bom bunuh diri yang dilakukan dalam kondisi damai. Logika jihad yang sesat dan menyesatkan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini, tidak ada alasan ketaatan istri kepada suami yang mengajaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Pada intinya, bunuh diri haram hukumnya dan merupakan sebuah dosa besar. Tidak dibenarkan untuk melakukan bunuh diri dengan alasan apapun. Kehidupan adalah suatu anugerah luar biasa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pantaskah kita mengakhiri dan membuang anugerah tersebut dengan cara yang dilarang keras oleh-Nya dan menukarnya dengan kekekalan di neraka?
Wallahu’alam.
*Farida Asy’ari (Alumni Ma’had Aly situbondo dan Dosen Agama Politeknik Negeri Pontianak )
#muslimsejati
Sumber: https://islamkaffah.id/afkar/tidak-perlu-ada-ketaaan-istri-kepada-suami-teroris

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid