Demokrasi dalam sudut pandang Islam


Demokrasi 
Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham demokrasi.
Menurut asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa).  Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1]
Pandangan Islam tentang Demokrasi 
Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada  ulil amr (pemerintah). Syura (Musyawarah) terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]
Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.
maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159.
Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
            Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah (anggota musyawarah) Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya.
Rasulullah tidak membuat kaidah-kaidah syura (kaidah musyawarah ) karena beberapa hikmat dan sebab:[3]
  • Kaidah-kaidah syura bisa berlain-lainan menurut perkembangan masyarakat (bangsa), masa dan tempat.
  • Seandainya Nabi telah menentukan kaidah-kaidah Syura saat itu, maka menjadilah kaidah-kaidah itu sebagai hukum agama yang wajib ditaati dan wajib dilaksanakan di semua masa dan tempat. Kaidah-kaidah yang ditetapkan pada masyarakat yang sistemnya masih sederhana, tentu tidak akan sesuai lagi untuk masa-masa kemudian.
  • Inilah sebabnya para sahabat berkata, ketika mereka memilih Abu bakar: “Rasulullah telah menyukainya untuk menjadi imam kita di dalam sembahyang. Apakah kita tidak menyukai dia untuk menjadi kepala negara kita?”
  • Berbeda dengan zaman Nabi, tindakan-tindakan pemerintahan Abasiyah (sebagai contoh kasus) bisa menimbulkan dugaan atau anggapan bahwa kekuasaan dalam Islam bersifat otoriter dan tidak demokratis.
  • Sekiranya kaidah-kaidah syura itu ditetapkan sendiri oleh Nabi tidak menjalankan musyawarah. Syura (musyawarah) mengandung beberapa kemanfatan:
  • Digunakan pertimbangan akal dan paham, serta memperhatikan kemaslahatan masyarakat.
  • Menggali apa yang tersembunyi. Akal manusia selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan musyawarah akan dapat dilakukan kajian dan tinjauan dari macam-macam aspek yang menyangkut banyak segi, karena terdapatnya banyak pemikiran dan usulan.
  • Menghasilkan pendapat-pendapat benar dan terbaik, dengan dasar yang kuat dengan bertemunya berbagai pemikiran dari banyak orang.
  • Menciptakan suasana persatuan dan kesatuan dalam pelaksanaan dan penyelesaian masalah, karena banyak orang yang dilibatkan didalamnya.
[1] Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 195.
[2] Ibid hal 220.  
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 1995, PT Pustaka Rizki Putra:Jakarta, hal 717-721.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid