MEMBAJAK AYAT DEMI KEPENTINGAN SESAAT


Na
shr Hamid Abu Zaid, menyatakan bahwa al-Quran adalah musfah yang tidak dapat berbicara. Artinya, al-Quran tak bisa menghasilkan hukum sendiri. Perlu adanya suatu yang bisa menggali maknanya darinya.
Dalam posisi inilah manusia, sebagai makhluk yang diberi akal, menjadi makhluk Allah yang sanggup melakukan penafsiran dan menemukan makna yang dikehendaki al-Quran. Dari sinilah yang, kemudian, umat Islam berbondong-bondong menjadikan al-Quran sebagai rujukan dan posisi sentral berkeagamaan.
Masih menurut Nashr, pembacaan terhadap al-Quran tidak lepas dari subyektifitas seorang pembaca/penafsir. Alasan inilah yang menyebabkan munculnya tafsir-tafsir yang bernuansa kepentingan sesaat. Hajat sesaat. Dan nafsu kurafat. Azyumardi Azra memberikan satu hal yang membuat tafsir atas al-Quran hanya diniatkan untuk kepentingan sesaat, yaitu untuk kepentingan politik.
Potensi terjadinya penyelewengan al-Quran atas dasar politik yang kotor ini sudah dimulai sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang dilakukan oleh sekelompok yang mengakui Islam, yaitu Khawarij. Demi dukung-mendukung kelompoknya, misalnya, mereka menggunakan Qs. Al-Maidah (5): 44 untuk menghakimi siapa yang tidak memutuskan dengan hukum Allah - dengan situasi pusaran politiknya - dianggap kafir. Menurutnya, siapaun yang melakukan tahkim (arbitrase), yaitu Ali, Muawiyyah, Abu Musa dan Amr, semuanya kafir. Padahal, tidak lain, ayat itu dipakai demi didukungnya kelompok Khawarij oleh masyarakat pada saat itu.
Farid Esack, membenarkan demikian, bahwa di zaman modern saat ini banyak sekelompok Islam garis keras yang 'memerkosa' ayat al-Quran demi dukung mendukung politik sesaat. Umat Islam seperti inilah yang, menurut Soekarno, dicap sebagai 'Islam Sontoloyo'.
Hingga saat ini pun, ketika suasana perpolitikan nasional semakin kencang, masih banyak ormas-ormas Islam yang membajak al-Quran demi kepentingan sesaat. Yang akibatnya, al-Quran bukan dijadikan petunjuk umat manusia (hudan linnas), tetapi malah dipolitisasi yang menimbulkan kekerasan, permusuhan, dan saling menyalahkan pemilih pilihan politik yang berbeda dengan dirinya.
Sudah semeskinya demikian itu diwaspadai. Al-Quran harus tetap menjadi perunjuk jalan umat Islam yang rahmatal lil alamin. Nilainya harus harmoni, menyentuh dan menyayangi seluruh umat manusia, tanpa melihat perbedaan, dan juga mengasihi seluruh alam.

Penulis: Lufaefi, Aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI).
#muslimsejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid