Memecah Belah Umat dan Perbedaan Pilihan Politik

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi Kalimat memecah belah umat ini begitu populer di kalangan masyarakat. Beberapa kelompok yang kontra sering menggunakan kalimat ini sebagai argumen retoris untuk melegitimasi tindakan dan melakukan penolakan terhadap yang lain. Apakah saat ini umat benar-benar pecah? Atau ini sekadar slogan retoris dan politis? Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas ada baiknya melihat arti kata "pecah" sebagai akar kata "perpecahan". Dalam KBBI kata "pecah" diantaranya bermakna: (1) terbelah menjadi beberapa bagian; (2) retak atau rekah; 3) bercerai berai atau tidak kompak lagi, dan beberapa arti lagi, namun tiga makna itulah yang relevan ketika digabungkan dengan kata umat. Jika dilihat dalam perspektif dan bingkai keislaman dan keindonesiaan, sebenarnya penggunaan kata "memecah belah umat" untuk mendiskripsikan suatu tindakan dan pilihan politik yang berbeda sebenarnya tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta. Jika kata "memecah belah umat" tersebut ditujukan pada umat Islam maka ini jelas tidak tepat, karena sampai detik ini umat Islam Indonedia masih bersatu dan utuh dalam bingkai NKRI. Tidak ada yang tercerai-berai, mereka masih berpegang Qur'an dan Hadits. Menjadikan ulama, kiai dan habaib sebagai panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasar Pancasila. Dari berbagai kenyataan ini, jelas terlihat sebenarnya tidak ada perpecahan umat Islam Indonesia. Yang ada adalah perbedaan, mulai perbedaan pemahaman, pemikiran, madzhab sampai perpedaan pilihan politik terutama saat pilpres, pilkada maupun pileg. Selagi mereka masih mengakui NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara maka sebenarnya yang terjadi bukan perpecahan umat tetapi perbedaan pilihan. Dengan demikian penggunaan kata "memecah belah umat" karena perbedaan pilihan politik menjadi tidak tepat. Jargon memecah belah umat baru menjadi tepat ketika katagori yang digunakan adalah sistem politik dan ideologi. Dalam konteks ini orang yang tidak mau menerima sistem dan ideologi yang ditawarkan akan dianggap orang lain atau kelompok lain yang perlu disingkirkan dan dimusuhi. Jika sudah demikian maka yang terjadi adalah perpecahan karena masing-masing pihak berada dalam sistem dan ideologi yang berbeda dengan garis demarkasi yang jelas. Ketika ada sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan NKRI dengan mengusung sistem khalifah dan ideologi fundamentalisme Islam maka mereka akan berusaha menyatukan umat dalam gerakan mereka. Persatuan umat Islam berarti bersatu dengan gerakan dan pemikiran politik mereka. Yang berbeda akan dianggap pengkhianat, pemecah belah umat yang harus dilawan dan disingkirkan. Di sini perbedaan akan dianggap sebagai perpecahan. Meskipun secara formal dan ideologis seseorang memeluk Islam dan rajin menjalankan ibadah namun akan tetap dianggap thoghut jika tidak mau ikut pada pemahaman dan garis perjuangan mereka. Misalnya dalam konteks pemilihan Presiden, kedua pasang kandidat yang sedang berlaga adalah sama-sama warga bangsa Indonesia dan sama-sama Muslim, maka sebenarnya tak ada perpecahan umat Islam ketika terjadi perbedaan dalam memilih dua kandidat tersebut. Siapa pun yang menang adalah bagian dari umat Islam. Perpecahan akan muncul, katika salah satu pasangan kandidat dianggap bukan Islam atau bukan representasi dari umat Islam. Sehingga ketika ada umat Islam yang memilih pasangan tersebut dianggap telah memecah belah umat. Bahkan keberadaan pasangan tersebut dianggap memecah belah umat sekali pun dia seorang ulama. Sedangkan calon yang lain dianggap sebagai pemersatu umat karena sesuai dengan kemauan mereka. Dari sini jelas terlihat apa dan siapa yang paling suka menggunakan kata "memecah belah umat" dan ideologi apa yang ada di baliknya, yaitu ideologi fundamentalis puritan yang selalu ingin berkuasa dan memaksakan kehendak dengan segala cara. Ideologi ini tidak mengenal adanya perbedaan karena perbedaan dianggap sama dengan perpecahan. Semua umat harus bersatu dalam kendali dan barisan mereka. Itulah yang menyebabkan kelompok ini mudah mengatasnamakan umat dan agama. Pandangan seperti ini tidak akan muncul di kalangan ulama dan umat Islam Indonesia yang masih menerima NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara. Bagi kelompok ini perbedaan suara umat dalam menentukan pilihan Presiden atau Pilkada tidak akan dianggap sebagai perpecahan umat. Mereka akan menganggap hanya perbedaan bukan perpecahan karena masih sama-sama menjadi warga negara dan masih sama-sama Islam. Apa yang terjadi menunjukkan bahwa tidak akan ada perpecahan umat Islam Indonesia hanya karena perbedaan pilihan saat pilpres atau pileg. Selagi mereka masih menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara perbedaan sejauh apapun tidak akan menimbulkan perpecahan umat. Perpecahan umat akan muncul ketika perbedaan pilihan dianggap sebagai pengkhianat dan penghambat terjadinya pergantian sistem dan ideologi di negeri ini. Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta Sumber : Nu Online

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid