Hijrah Milenial, Jangan Lupakan Spirit Kebangsaan


Kaum milenial sangat akrab dengan istilah hijrah. Fenomena religiusitas simbolik. Tetapi sayangnya, ada yang terlupakan dalam proses hijrah mereka. Yaitu absennya spirit kebangsaan. Hal ini menjadi PR bagi para pendukung gerakan hijrah.
Komunitas yang menggunakan slogan hijrah terus tumbuh. Belum jelas bagaimana slogan hijrah kemudian menjadi populer dan membentuk identitas komunal yang khas. Tetapi, yang perlu dipahami, komunitaz hijrah tumbuh mengikuti trand sosial anak muda.
Tidak ada afiliasi tunggal, misalnya kepada kelompok sectarian tertentu. Beberapa komunitas hijrah yang terkenal misalnya digawangi Hanan Attaki di Bandung, Pengajian Selebritis Musawarah di Tangerang Selatan, dan Hijrahfest di Jakarta. Mereka memadukan semangat religiusitas dan komodifikasi simbol agama melalui jejaring sosial media.
Patut diduga, popularitas hijrah merupakan dampak penggunaan algoritma yang dikembangkan berbagai platform sosial media. Sistem teknologi informasi internet, google dan berbagai platform sosial media, bekerja berdasarkan kerangka algoritma. Semakin banyak satu kata digunakan, maka ia akan muncul dalam urutan teratas pencarian.
Para pengguna sosial media yang menggunakan kata hijrah kemudian berjejaring dengan individu lain yang menggunakan kata kunci yang sama. Terciptalah konektivitas virtual yang terus diperkaya dengan ide-ide baru tentang religiusitas berbalut semangat komodifikasi simbol agama.

Kesalehan Aktif

Salah satu ciri komunitas hijrah, dimana pun, adalah tumbuhnya yang disebut para ahli sebagai kesalehan aktif. Para pengikut komunitas hijrah, seperti tidak ingin jika mereka sendiri yang menjadi religius, tetapi orang-orang di sekitar mereka juga harus religius seperti mereka. Mereka sangat bersemangat menyebarkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada orang lain. Terkadang, semangat ini dipahami oleh pihak luar sebagai ekspansi, serangan, keinginan mendominasi, dan mengontrol pihak lain atas nama moralitas. Pihak luar sering merasa para pengikut komunitas hijrah menjadi hakim yang mengadili moralitas individu di luar kelompoknya.

Kesan Ekseklusif

Pihak luar tentu merasa bahwa semangat semacam itu bersifat ekseklusif, terkadang menimbulkan perasaan mengancam keragaman. Penampilan identitas Islam, melalui bahasa dan simbol yang dikonstruksi, justru dibaca dalam kacamata ancaman identitas liyan. Di sinilah, kemudian muncul asumsi bahwa komunitas hijrah merupakan ancaman terhadap kebhinekaan. Padahal, kebhinekaan merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Minim Wacana Kebangsaan

Para pengikut dan pendukung fenomena hijrah perlu mempertimbangkan komunikasi publik yang dapat menampilkan citra bahwa mereka adalah komunitas yang terbuka dan siap hidup di negara yang menjunjung tinggi semangat kebhinekaan. Karenanya, para pengusung gerakan hijrah perlu mewacanakan semangat persatuan dalam bingkai negara bangsa. Jangan sampai, justru malah mengembangkan wacana keagamaan (Islam) yang berusaha membenturkan agama dan negara.
Semangat kebangsaan perlu ditampilan agar publik paham bahwa mereka bukan ancaman bagi liyan. Bahwa mereka hanya bagian dari warga bangsa yang berhak dan bebas mengekspresikan semangat religiusitasnya, tetapi juga memiliki komitmen kuat dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
#muslimsejati
Sumber:http://harakah.id/hijrah-milenial-jangan-lupakan-spirit-kebangsaan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid