Terorisme dan Lima Ide Berbahaya


Khoiron, NU Online | Sabtu, 12 Mei 2018 10:30
Oleh M. Zidni Nafi'

Kalau kita mengingat sejarah, sekian banyak konflik yang terjadi pada dasarnya tidak lepas dari faktor SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) berbaur menjadi satu. Hal ini dikarenakan SARA termasuk aspek paling fundamental dalam diri manusia. Sehingga secara psikososial, kecenderungan identitas tersebut bersifat sensitif apabila diusik, yang berdampak erat pada perilaku serta interaksi sosial.

Pembauran unsur SARA itu bisa diamati misalnya dari kasus-kasus konflik Pakistan-India, Israel-Palestina, Bosnia-Serbia, yang berbaur unsur antara agama dan antargolongan (nasionalisme). Pembantaian jutaan Yahudi oleh Nazi Hitler adalah kombinasi antara ras dan agama, senada juga dengan kasus pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Bahkan Perang Salib berlangsung hampir 200 tahun mengandung semua unsur SARA.

Sekian konflik besar telah berlalu, namun kini justru malah berlanjut muncul fenomena global baru, terorisme, misalnya. Apakah terorisme merupakan jenis baru dalam konflik global? Lalu bagaimana menguraikan gejala-gejala yang menyebabkan perkembangnya aksi terorisme?

Terorisme: Konflik Model Baru

Perubahan terjadi dipenghujung abad 20 tatkala konflik di Timur Tengah yang dicampuri oleh negara-negara Barat terutama Amerika, melahirkan semacam resistensi sebagian kelompok muslim terhadap Amerika dan sekutunya. Puncaknya ditandai runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001. Al-Qaeda ditengarai menjadi otak di balik peristiwa itu, sehingga perlawanan global melawan terorisme dikampanyekan di mana-mana. Islam dituduh sebagai penyebabnya, akibat berujung lahirnya Islamophobia.

Propaganda global itu menggiring seolah-olah Islam itu berwatak bringas dan kejam serta melegitimasi pemboman dan pembantaian, sebagaimana yang terjadi di sebagian besar negara Barat. Apalagi sekarang kondisi diperparah mengingat fenomena ISIS menambah daftar aksi-aksi yang tidak mencerminkan inti ajaran Islam yang damai dan mengedepankan kasih sayang.

Menurut pakar psikologi terorisme Sarlito Wirawan (2012: 2-6), berbagai teori sudah dikembangkan untuk menjelaskan bahwa konflik itu berulang-ulang terjadi lantaran bersumber dari ideologi dan ambisi kekuasaan dari pemimpin sebuah kelompok. Sebagian lagi mengacu kepada perebutan lahan dan sumber ekonomi, sebagaimana banyak terjadi perebutan ladang-ladang minyak di Timur Tengah.

Mengapa Lima Ide Berbahaya?

Di samping motif dan faktor yang disebutkan di atas, ada pula situasi dan kondisi yang sangat mendasar yang bisa dialami oleh suatu bangsa. Ini pula dapat memicu lahirnya kelompok-kelompok yang dapat melakukan perlawanan, menebar provokasi, bahkan sampai melancarkan aksi teror, pembunuhan dengan mengatasnamakan apapun, termasuk agama sekalipun.

Ada lima ide berbahaya yang jika terjadi pada individu akan menyebabkan perasaan tidak senang, tidak percaya diri, sampai gelisah dan gangguan neurosis, sementara pada tingkat kelompok bisa memicu kekerasan antarkelompok. Kelima ide itu adalah superioritas, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan.

(1) "Superioritas" yakni suatu kelompok beranggapan bahwa hanya kelompoknya yang terpilih atau dipilih oleh Mahakuasa sebagai kelompok yang paling unggul (biasanya berkaitan dengan keyakinan agama). Kelompok lain adalah inferior (mutu rendah dan lemah) dan karenanya boleh diperangi atau dibunuh kalau dianggap mengancam eksistensi kelompok terpilih itu. Contohnya keunggulan rasa Arya yang dicanangkan Hitler.

Tindak superioritas itulah yang berakibat pada (2) "ketidakadilan" terhadap kelompok lain. Ketidakadilan ini tentu saja subjektif, dan biasanya, untuk mengipasi rasa ketidakadilan itu perlu ada provokator-provokator, yang mampu berpidato dengan retorika yang dahsyat mengajak kelompok untuk beraksi.

Konflik yang berlanjutan dan tak kunjung selesai lalu bisa menumbuhkan rasa (3) "kerentanan" kelompok yang biasanya berawal dari ketidakpastian akan nasib masa depan. Bila tidak segera diredam, makan meletus menjadi kerusuhan.

Situasi akan terus berlanjut pada (4) "ketidakpercayaan". Inilah yang sekarang mendominasi konflik-konflik di Indonesia. DPR tidak percaya pada pemerintah, sebagian rakyat tidak percaya presiden. Pendukung bupati yang kalah tidak percaya KPU, KPK dan MK mulai tidak dipercaya juga, apalagi polisi. Masih lagi dikompori oleh media massa, akibatnya konfik menjadi tambah panas.

Akhirnya,  muncul (5) "perasaan tidak berdaya". Perasaan ini justru dimanfaatkan untuk mendorong perjuangan kebangkitan kelompok tertentu. Melalui kebangkitan, suatu kelompok bisa melakukan semacam 'serangan balik' berupa revolusi untuk menumbangkan superioritas kelompok penguasa misalnya. 

Waspadailah!

Pendapat Sarlito Wirawan di atas sangat perlu diwaspadai bersama oleh bangsa Indonesia. Mengingat situasi sosio-politik belakang ini sudah mulai mengkhawatirkan. Apalagi adanya propaganda "atas nama agama" semakin deras dan vokal, sehingga salah satu unsur SARA ini dapat mudah ditunggangi oleh kelompok tertentu demi melawan suatu keadaan dengan jalan kekerasan dan teror.

Oleh karena itu, mengubah atau minimal mencegah lahirnya 'ide-ide berbahaya' itu harus diperhatikan oleh segenap masyarakat. Hal ini demi tidak terulang lagi berbagai konflik oleh sesama anak bangsa seperti yang sudah terjadi di Ambon, Poso dan Aceh, atau belasan bom atas nama jihad yang telah diledakkan oleh teroris yang merenggut ratusan nyawa.

Jika sudah sadar akan demikian, masih adakah yang menutup mata serta berani menganggap semua fenomena terorisme di negeri ini adalah rekayasa dan pengalisan isu?


Penulis adalah santri yang bergabung di Komunitas Belajar Islam Civil Society Against Violent Extremism (CSAVE), penulis buku "Menjadi Islam Menjadi Indonesia".

#muslimsejati
Sumber:http://www.nu.or.id/post/read/90241/terorisme-dan-lima-ide-berbahaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid