APAKAH DEMOKRASI SEJALAN DENGAN ISLAM ?


Ajaran tentang keadilan dalam Islam mendukung prinsip demokrasi
Thaha Husein, pakar pembaru pemikiran Islam asal Mesir menjelaskan bahwa siapa saja yang berusaha mengajak umat Islam, khususnya orang-orang Mesir untuk kembali kepada sikap hidup yang berlaku di  zaman Fir’aun, di zaman Yunani-Romawi, atau di masa-masa permulaan Islam, akan dicemooh rakyat. Masyarakat termasuk kalangan konservatif dan mereka yang tidak senang dengan setiap usaha pembaruan ajaran Islam juga menilai bahwa kembali ke warisan kuno Islam adalah sikap yang keliru.
Lebih jauh Thaha mengatakan: “Kita harus menyadari pula bahwa tanda tangan yang kita bubuhkan dalam naskah-naskah perjanjian internasional, yang dengannya kita memperoleh kemerdekaan, dan dengannya pula kita terhindar dari kekalahan, jelas mewajibkan kita untuk mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa dalam pemerintahan, ketatanegaraan, dan dalam hukumnya.
Obsesi Thaha Husein untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi Barat didasarkan pada dua argument pokok. Pertama, beliau membuktikan bahwa tidak ditemukan ajaran mengenai sistem politik dalam Al-Qur’an. Kedua, beliau juga membuktikan bahwa sistem demokrasi itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan durhaka. Meminjam istilah Bertrand Russell bahwa demokrasi telah dapat mencegah penyalahgunaan terburuk dari kekuasaan.
Dalam prakteknya terlihat bahwa penyalahgunaan terburuk kekuasaan berupa ketidakadilan, tindakan sewenang-wenang, perampasan hak dan kebebasan, ketidakjujuran yang menyebabkan mundurnya suatu masyarakat, sering kali muncul sebagai akibat dari kekuasaan mutlak seorang raja atau presiden. Oleh karenanya, pemerintahan suatu negara tidak boleh diserahkan kepada satu orang saja, sungguh pun siapa dia. Kita tidak boleh mengandalkan kekuasaan dimonopoli oleh satu orang.
Di sini harus diletakkan gagasan Thaha Husein untuk mengambil sistem demokrasi Barat sebagai suatu yang absah menurut “pandangan” Al-Qur’an, dan untuk melihat keabsahannya kiranya perlu diketengahkan lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertama, mengapa harus demokrasi Barat? Kedua, bagaimana Al-Qur’an menganjurkan ditegakkannya keadilan, kebajikan, keterbukaan, kebebasan, membantu kaum lemah, melarang perbuatan yang tidak senonoh dan tercela, serta bagaimana kemungkinan nilai-nilai itu dapat ditegakkan dalam suasana kehidupan demokrasi.
Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi umat Islam untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi itu karena beberapa alasan. Pertama, umat Islam sejak masa-masa awal perkembangannya telah berpaling dari sistem feodal yang mengandalkan keunggulan suku atau clan, serta tidak menjadikan kesamaan agama dan bahasa sebagai dasar pemerintahan.
Nabi saw membangun negara Madinah dan demikian juga sistem politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan praktis. Kondisi ini terjadi sebelum abad II hijriyah berakhir, yakni ketika Daulah Ummayah di Spanyol menantang Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad. Keadaan ini berlanjut terus hingga berdirinya berbagai pemerintahan di negeri-negeri Islam yang di dasarkan atas kepentingan ekonomi dan geografis.
Kedua, sedemikian jauh pemikiran dan tingkah laku politik Barat telah menjadi pemikiran dan menjadi tingkah laku pemikiran umat Islam khususnya di Mesir. Umat Islam di berbagai wilayah dapat dengan mudah menerapkan sistem politik Eropa yang demokratis. Hal itu karena sistem demokrasi yang diterapkan di berbegai negara Eropa tadi mengedepankan prinsip kesetaraan bagi semua warga negara, memandang perlunya penegakan hukum yang adil dan netral serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Meskipun demikian tetap saja di berbagai wilayah Islam muncul godaan untuk menerapkan pemerintahan absolut. Yang saya maksudkan adalah bahwa pemerintahan absolut yang seringkali terjadi di negara-negara Muslim timbul disebabkan pengaruh pemerintahan absolut yang berkembang di Eropa sebelum munculnya paham demokrasi.
Demikian juga bentuk pemerintahan di negara-negara Islam yang terbatas itu dibentuk oleh sistem pemerintahan terbatas yang juga ada di Eropa sebelumnya. Artinya, umat Islam sudah sejak lama berkiblat ke Barat atau Eropa, jadi tidak perlu malu untuk mengadopsi system demokrasi yang ternyata mampu membawa Eropa ke arah kemajuan dan kesejahteraan seperti sekarang.
Menurut Thaha Husain, pemikir pembaruan Mesir, mereka yang berusaha melaksanakan pemerintahan absolut (tak terbatas) di Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Louis XIV di Perancis daripada mengikuti pola Abd al-Hamid di Turki. Sisi lain yang lebih penting dari analisis ini adalah bahwa kecenderungan pemerintahan absolut yang seringkali muncul di berbagai dunia Islam di abad modern adalah disebabkan adaptasi dan peniruan yang sangat terlambat dan ketinggalan terhadap Eropa. Dengan demikian, ia melihat bahwa peniruan atau adopsi yang keliru terhadap Barat akan mendatangkan malapetaka bagi umat Islam.
#muslimsejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid