Siapa Sebenarnya Pengikut Ahlussunnah Waljamaah?


Sampai hari ini pertentangan tentang siapa sebenarnya yang sesungguhnya pengikut ahlussunnah waljamaah(aswaja) masih terus berlanjut. Pertemuan ulama-ulama aswaja yang diselenggarakan di Grozny beberapa tahun lalu yang tidak melibatkan ulama-ulama dari Saudi Arabia yang selama ini dikenal sebagai pengikut Wahabi membuat ulama-ulama dari negeri itu tersinggung berat.  Bahkan mereka menuduh pertemuan ulama aswaja di Grozny sebagai sebuah konspriasi memecah umat Islam yang didukung oleh Rusia.
Pertentangan tentang siapa sebenarnya pengikut aswaja tidak terlepas dari metoda pelaksanaan ajaran-ajaran agama Islam dan pola pemahaman terhadap teks-teks Alquran yang sangat berbeda dari satu kubu dengan kubu lain. Hal ini didasarkan pada metode yang digunakan oleh ulama-ulama sebelumnya dalam memahami setiap teks baik itu al Quran maupun Hadis Rasulullah Saw.
Kubu ulama klasik (salaf)yang cenderung lentur dalam memahami tek-teks Al Quran dan menggunakan logika dalam memahami teks itu khususnya yang terkait dengan masalah-masalah teologis mengklaim sebagai konsep yang dijalankan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya begitupla tabiin dan tabi tabiin. Sikap ulama ini didasarkan pada upaya membersihkan dan mensucikan tuhan dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan serta menghindari paham-paham dogmatis agama kuno terhadap agama Islam.
Selain itu kubu ini juga berusaha semaksimal mungkin memadukan teks dan logika selama hasil logika tersebut tidak bertentangan dengan teks al Quran dan Hadis. Mereka menempatkan logika dan teks sebagai sesuatu yang harus dipadukan karena tidak mungkin akal yang sehat akan bertentangan dengan teks-teks asli atau tujuan-tujuan teks.
Kubu ini muncul ketika kelompok Mu’tazilah begitu mengagungkan logika dalam menginterpretasi teks-teks Al Quran sehingga memunculkan paham-paham yang seakan-akan Tuhan memiliki kewajiban terhadap hambanya. Padahal menurut kubu ini tidak mungkin Tuhan memiliki kewajiban terhadap hambanya karena Dialah Maha Berkehendak dan Maha Perkasa atas segala sesuatu. Artinya Tuhan tidak mungkin terpaksa atau dipaksa melakukan sesuatu karena hambanya.
Pola pikir ini ternyata mampu menyelaraskan tujuan-tujuan teks-teks Al Quran yang mutasyabihatdengan cara pandang logika yang menempatkan Tuhan sebagai zat yang suci dari segala-galanya. Kubu ini diparakarasi oleh Abu Hassan Al Asy’ary yang kemudian dikenal sebagai pendiri mazhab Ahlussunnah waljamaah kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dan generasi-generasi selanjutnya mulai dari Al Hakim, Al Baihaqi,  Al Baqilani, Al Juwaini, Imam Bukhari dan Imam Muslim, Al Ghazali, Ar Rozi, Al Amadi, Al Eji, Al Taftasani, Ibnu Aljauzi, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar Alasqalani, Ali bin Abdul Salam, Assuyuti, Tag el Subki dan sejumlah ulama besar lainnya.
Paham dan konsep teologis yang dibangun oleh tokoh besar  tersebut mendapat tempat yang luas di kalangan umat Islam karena dinilai sebagai pandangan yang paling sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya. Sehingga ulama-ulama yang datang di kemudian hari baik di Timur Tengah maupun di Asia seperti Syech Hasyim Asy’ari di Indonesia mengikuti dan menjalankan paham itu.
Sementara kubu lain yang tidak sepaham dengan ulama-ulama di atas dalam masalah teologis juga mengklaim dirinya sebagai aswaja dan menganggap kubu di atas telah keluar dari paham aswaja dan melengceng dari konsep teologis yang telah dibangun oleh Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu kubu ini dalam melegalisasi pendapatnya menetapkan ulama-ulama tersendiri yang berbeda dengan ulama-ulama yang telah ditetapkan oleh kubu sebelumnya.
Mereka mengakui Abu Hassan Al’ As’asry sebagai salah satu imam aswaja, namun mereka menganggap bahwa murid-muridnya telah mempelintir pandangan-pandangan Abu Hassan Al Asary karena itu mereka tidak mengakui pandangan-pandangan teologis yang disampaikan oleh murid –murid Abu Hassan Al Asyari seperti Imam Ghazali dan lainnya. Mereka hanya terhenti pada Imam Ibnu Hanbal kemudian dilanjutkan oleh Syechul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Aljauziah dan selanjutnya perkuat oleh Syech Muhammad bin Abdul Wahab.
Jika memperhatikan konsep teologis yang dibangun oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah dan selanjutnya Syech Muhammad bin Abdul Wahab maka pandangan-pandangan teologisnya cenderung mirip dengan pandangan-pandangan sekte Islam yang muncul pada era Mu’tazilah yang enggan mentakwil teks-teksmutasyabihat sehingga menafsirkan teks-teks itu secara tektual. Akibatnya sekte-sekte itu masuk dalam kategorimujassimah dan musyabbihah atau mempersamakan Tuhan dengan makhluknya karena menganggap bahwa tuhan memiliki tempat dan berdimensi.
Meskipun ulama-ulama modern dalam kubu ini seperti Abdullah bin Baz mencoba melakukan penyesuaian dalam bidang teologis dengan yang telah dibangun oleh kubu pertama, namun cenderung belum memberikan sebuah penjelasan yang tidak dapat ditolak dan diinterpretasi.  Salah satu prinsip utama aswaja dalam masalah teologis adalah mensucikan Tuhan dari hal-hal yang dapat menggiring pemahaman kepada suatu pemikiran bahwa Tuhan memiliki dimensi dan tempat atau mengklaim sebuah pergerakan dan perubahan pada zat yang Maha Suci itu.  
Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: https://islamkaffah.id/afkar/siapa-sebenarnya-pengikut-ahlussunnah-waljamaah

#muslimsejati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid