Menangkal Radikalisme di Media Sosial

Image Ilustrasi - Teroris AKURAT.CO/Ryan AKURAT.CO, Sejumlah penelitian menunjukkan, terjadi perkembangan menghawatirkan dalam desseminasi paham radikal, termasuk aksi-aksi kekerasan berjubah agama. Di tahun 2017 misalnya, Wahid Institute melakukan survei terhadap 1.520 responden dengan metode multi stage random sampling. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 0,4 persen penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan. Kalau dari populasi berarti 600 ribu pernah bertindak radikal dan 11 juta orang mau bertindak radikal. Sama seperti penduduk Jakarta dan Bali. Menurut Direktur Wahid Institut Yenny Wahid, kesenjangan ekonomi dan ceramah sarat kebencian menjadi penyebab berkembangnya radikalisme di Indonesia. Sedangkan BNPTmencatat, sepanjang 2000 sampai 2017 sebanyak 16 anak dan remaja terlibat terorisme. Dari total 1.800-an pelaku terorisme di berbagai daerah. Penelitian Ma'arif Institut pernah menyebutkan guru, Kepala Sekolah dan alumni berpotensi menebarkan bibit radikalisme. Mereka berpotensi menjadi aktor atau ideolog yang membuat doktrin kepada para pelajar. Terakhir, remaja yang menjadi pelaku aksi bom bunuh diri di kampung Melayu. Dalam kesempatan itu, juga diputar video testimoni pelaku bom hotel 2009, Nana Maulana. Tampak Nana telah dipengaruhi doktrin sehingga secara sadar melakukan aksi bom bunuh diri. Padahal Nana baru lulus SMA. Kemudian yang menggegerkan, BNPT merilis adanya sebanyak tujuah Perguruan Tinggi (PTN) terpapar radikalisme. Ketujuh PTN tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal. Bahkan cendekiawan muslim Azyumardi Azra punya cerita serupa. Rilis ini disampaikan ke publik oleh Direktur Pencegahan BNPT, Hamli pada Jumat (25/5/2018). Baca Juga: Mencermati Fenomena Politisasi Efek Ekor Jas Manuver Politik NU Berkorban untuk Bangsa dan Negara Belum bisa tidur nyenyak dengan temuan BNPT yang cukup mengagetkan sejumlah kalangan, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan pada 8 Juli 2018 merilis hasil penelitian yang tidak kalah mengejutkan. Yakni: sebanyak 41 masjid di kantor pemerintahan, lembaga negara, dan kantor BUMN di Jakarta terindikasi terpapar radikalisme. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan sejak 29 September hingga 21 Oktober 2017 dengan meneliti khutbah Salat Jumat serta bahan-bahan bacaan yang ada di masjid tersebut. Setiap masjid didatangi oleh satu orang relawan untuk merekam video dan audio khutbah dan mengambil gambar brosur, buletin dan bahan bacaan lain yang ada di masjid. Pisau Bermata Dua Isu seputar radikalisme dan terorisme menjadi rumit dan sangat mungkin mengakibatkan berbagai upaya pencegahan paham radikal juga menjadi tidak efektif dan sebaliknya bergerak liar karena dikontribusi oleh media, khususnya melalui media sosial. Indonesia dewasa ini memang sudah menjadi ladang subur media sosial. Bahkan kini sudah menjadi life styledimana banyak manusia menjadi tergantung ‘benda ajaib’ tersebut. Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Dalam sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite, terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat gemar mengunjungi media sosial. Tercatat, setidaknya kini ada sekira 130 juta masyarakat Indonesia yang aktif di berbagai media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter dan lainnya. Dalam laporan ini juga terungkap jika pada Januari 2018, total masyarakat Indonesia sejumlah 265,4 juta penduduk. Penetrasi penggunaan internet mencapai 132,7 juta pengguna. Jika membandingkan antara jumlah pengguna internet dengan pengguna media sosial, ini berarti sekitar 97,9 pengguna internet di Indonesia sudah menggunakan media sosial. Problemnya, media sosial di Indonesia selain mempunyai sisi positif, juga negatif. Ibarat pisau bermata dua. Sisi positif atau manfaatnya antara lain cepat dan murah dalam memperoleh pengetahuan, informasi, berita dan lain sebagainya.Negatifnya dapat dengan mudah pula disalahgunakan untuk melakukan tindakan kriminal, perselingkuhan, penyebaran informasi menyesatkan, dan lain sebagainya. Dalam kontek penyebaran paham radikal yang destruktif, media sosial ditengarai memberikan kontribusi yang sangat signifikan. Sejumlah temuan penelitian menunjukkan, kelompok terpapar doktrin radikalisme destruktif karena mengakses informasi, bulletin, buku dan sejenisnya dari media sosial yang ditulis oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi memadai tentang agama. Bahkan diantaranya cenderung menyesatkan. Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) pernah melakukan penelitian tentang pengembangan paham radikal melalui media sosial. Hasilnya, menemukan media sosial mempercepat radikalisasi karena seseorang dapat terpapar pesan radikal dalam frekuensi tinggi. Sebanyak 85% narapidana terorisme mengaku melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun setelah terpapar radikalisme melalui media sosial. Sebuah akselerasi yang signifikan jika dibandingkan dengan sebelum populernya media sosial. Pasalnya, terpidana terorisme 2002-2012 rata-rata mulai radikal dalam kurun lima sampai 10 tahun sejak pertama terpapar hingga melakukan aksi terorisme. Itu artinya keberadaan media sosial jelas memudahkan kelompok teroris dan radikal melakukan propaganda dalam menunjukkan eksistensi, bahkan melakukan rekrutmen anggota baru. Hasil penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaiatan dengan mentransformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (email). Pilihan media sosial sebagai media propaganda bukan sekadar alas an praktis dan mudah tetapi mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni media sosial adalah kelompok remaja. Sedangkan di kalangan kaum terdidik, hadirnya propaganda melalui media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang. Selain itu, media on line atau dalam jaringan (daring) dan media sosial merupakan ruang publik baru yang terbuka dan bebas. Dalam pandangan pengamat Terorisme Universitas Indonesia Solahudin, media sosial dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris di Indonesia untuk proses radikalisasi. Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, sebanyak 85 persen. Di antaranya, melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun, sejak pertama kali terpapar paham ISIS. Kemudian dia mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002 hingga 2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5 hingga 10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme dan menemukan hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. Kesimpulannya, semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media. Salah satu contoh peran media sosial mendorong percepatan peradikalisasian, terpidana terpidana teroris bernama Anggi. Gabriel Weimann (2014), sebagaimana dikutip Agus Surya Bakti, Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT menduga, salah satu alasan kelompok teroris menyukai media sosial sebagai media propaganda karena secara demografis banyak dihuni kalangan muda yang menjadi target dan sasaran potensial radikalisasi dan rekrutmen. Contohnya, dua remaja asal Inggris, Yusuf Sarwar dan Mohammed Ahmed, yang ke Suriah beberapa bulan sebelum berangkat tercatat memesan dua buku di Amazon. Dua buku itu tentang pengantar Islam, Islam for Dummies dan the Koran for Dummies. Artinya, kebanyakan remaja yang direkrut paham keagamaannya rendah. Mereka mencari pengetahuan keagaman dari media online. Saat itulah, mereka bertemu pemahaman keagamaan yang radikal. Di sinilah bisa dilihat efektivitas media sosial karena lebih komunikatif, interaktif, dan langsung menyasar ke sasaran. Dari proses itulah radikalisasi berjalan di dunia maya. Kampus, Kemkominfo dan Kepolisian Infiltrasi dan desseminasi paham radikal destruktif melalui media sosial tampaknya tengah ngetrenddan di masa depan. Hal ini disebabkan karena kemudahan, kecepatan dan kemurahan yang harus dikelurkan namun di sisi hasilnya jauh lebih efektif. Hal tersebut berjalin berkelindan dengan berbagai faktor lainnya yang sudah lama diketahui publik. Seperti faktor yang sifatnya ideologis, agama, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan sebagainya, turut menjadi pemicunya. Bahkan konspirasi global, juga bukan tidak mungkin turut andil dalam memperkeruh suasana. Kalangan remaja dan pemuda merupakan segmen penduduk yang paling banyak disasar oleh penebar doktrin radikalis destruktif. Hal ini mudah dipahami karena kelompok inilah yang sudah melek teknologi namun secara ekonomi dan emosional terkadang masih banyak yang labil. Selain darurat narkoba, korupsi dan judi, tampaknya tidak salah manakala dikatakan bahwa Indonesia mengalami problem serius terkait infiltasi dan dessimasi radikalisme destruktif dan terorisme, khususnya melalui media sosial. Sekalipun belum sampai pada derajat darurat, namun urutan problemnya sudah mulai mengarah kesana. Untuk menangkalnya, diperlukan partisipasi berbagai elemen dan komponen bangsa. Namun jelas hal tersebut tidak bisa dilakukan secara parsial dan individual, melainkan harus dilakukan secara sinerjis dan kerjasama semua pihak. Menghadapi serbuan dunia maya yang dapat membahayakan NKRI, pemerintah tidak tinggal diam. Berdasarkan data dariKementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), kementerian ini sudah memblokir 22 situs/website karena dianggap terkait penyebaran paham radikal. Pemblokiran ini dilakukan atas permintaan BNPT. Namun kemudian BNPT meminta Kemkominfo untuk memblokir 19 situs lagi berdasarkan surat No 149/K.BNPT/3/2015 tentang Situs/Website Radikal ke dalam sistem filtering Kemkominfo. Total ada 22 situs yang diblokir. Terkait pemblokiran 19 situs tambahan tersebut, Kemkominfo telah mengirimkan surat edaran kepada para penyelenggara ISP dan meminta mereka untuk memasukkan daftar situs tersebut ke dalam sistem filtering para ISP. Dalam surat edaran yang disebarkan ke para ISP, tidak dijelaskan alasan situs-situs ini diblokir karena dianggap penggerak paham radikalisme dan/atau sebagai simpatisan radikalisme," tulis Kemkominfo mengenai alasannya. Kini dan ke depan, diperlukan suatu kerjasama yang lebih baik antara berbagai elemen dan komponen bangsa dengan melibatkan terutama Kemkominfo dengan kepolisian karena kedua instansi inilah yang memiiki kewenangan, sarana dan prasarana, serta sumber daya yang memadai. Bahkan diharapkan, kalangan universitas diharapkan dapat dilibatkan dalam untuk melakukan patroli siber (cyber patrole) untuk memerangi kejahatan di dunia maya, khususnya terkait dengan kejahatan desseminasi doktrin radikal destruktif oleh pihak kepolisan maupun Kemkominfo. Selain itu, kalangan Perguruan Tinggi atau kampus dituntut untuk memberi kontribusi penting dalam riset, sosialiasi dan pencegahan bagi berkembangnya pemikiran, paham dan doktrin radikalisme destruktif. Meminjam pandangan Ketua Umum PB NU Said Aqil Siraj, di era digital ini, semua pihak khususnya kalangan universitas harus berada di garda terdepan berperan melawan agen, distributor, pelaku dan simpatisan doktrin radikal di dunia media maya atau media sosial dengan cara menjadi jihadist literasi. Jihad literasi khususnya di media sosial tidak mudah dan tidak bisa semua orang mampu dan mau melakukannya. Tapi disitulah tantangannya yang harus dijawab secara nyata dan dicarikan solusinya.[] Sumber https://m.akurat.co/id-312850-read-menangkal-radikalisme-di-media-sosial #muslimsejati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Toleransi dalam Islam Terhadap Bangsa Indonesia yang Majemuk

Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri

Hadang Radikalisme, LDNU Jember Gelar Silaturahim Lintas Masjid